OLEH : MUHAMMAD SANGAP SIREGAR, S.Pd. MA Sebelum saya masuk ke Topik inti “Bagaimana Mempatriotikkan Ruh Islam Menyembulkan Nasionalisme Jel...
OLEH : MUHAMMAD SANGAP SIREGAR, S.Pd. MA
Sebelum saya masuk ke Topik inti “Bagaimana Mempatriotikkan Ruh Islam Menyembulkan Nasionalisme Jelang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2 Diantara Amanat Penderitaan Rakyat ini” saya ingin menyapa hadirin.
Apakah kita menginginkan Indonesia Bangkit?!
Apakah kita ingin Indonesia setara dengan bangsa lain di dunia?!
Apakah kita ingin keluar dari kemelut berkepanjangan yang melanda negeri ini?!
Apakah kita ingin Indonesia eksis?!
Apakah kita masih cinta Indonesia?!
Ini semua adalah pertanyaan menggugat yang melatarbelakangi lahirnya GMDI, sebuah pergerakan Transformatif membangun kesadaran sinergis seluruh komponen bangsa. Berawal dari kaum muda intelektual, yang terus bergerak maju menjadi inisiator dan mediator pengejut dan penyentrum setiap komponen, khususnya para stake holder pemegang amanah, para pemimpin yang diharapkan ketulusan dan semangat juangnya untuk membawa Indonesia Berubah.
Menyimak topik utama diatas, ada 4 poin yang menjadi pilar pembangkit Revolusi Kesadaran tersebut yang telah hilang dari perhatian kita, diantaranya :
1. Ruh Islam
2. Nasionalisme
3. Kemerdekaan dan
4. Amanat Penderitaan Rakyat
Pertama :
Ruh Islam adalah jihad dan pengorbanan, berbuat dan bertindak semata karena Alloh. Yakin atas firman-Nya, walau sebesar zarrah sumbangsih kebaikan yang kita buat pasti di balas, tidak mesti di akhirat nanti tetapi bahkan di dunia ini akan disegerakan balasannya untuk membuktikan kebenaran janjiNya. Setiap sinyal kebaikan yang kita pancarkan bagi jagat semesta hukum keseimbangan dan sebab akibat akan bekerja untuk mengembalikan kebaikan itu pada tiap-tiap diri pelakunya. Saksikanlah bahwa bapak-bapak yang tulus dalam pengabdiannya akan damai tanpa was-was, tiada rasa takut dikejar-kejar bayangan, karena alam sendiri merindukan dan rakyat menyaksikan, malaikat mendo’akan serta Allah-pun melanggengkan, tak perlu uang sogok, serangan fajar, janji2 muluk, iming2 hadiah, bonus sumbangan dan semenisasi jalan. Ikhlaskan saja berbuat karena Alloh mengharap redho-Nya sudah cukup untuk mengekalkan bapak2 pada kursi amanah tersebut. Tidak kurang dari 100 juta generasi muda Indonesia prihatin, GMDI secara aklamasi siap mendukung.
Kedua:
Nasionalisme adalah jiwa kebangsaan yang lahir dari rasa kebersamaan, senasib sepenanggungan, kesetaraan atas kepemilikan anugrah potensi kekayaan alam, tidak merasa lebih layak untuk mendapatkan jatah kekayaan negara karena sudah berbuat, tidak ingin pula mengklaim diri sebagai orang yang sudah berjuang dan masih berdarah-darah, lalu merasa wajar dan ingin mengambil bagian yang lebih dari kue-kue bangsa dengan secara leluasa dan suka hati.
Ketiga:
Kemerdekaan yang boleh kita artikan lepas dari cengkraman kuasa penjajah atas wilayah teritorial negara, dan sejak tahun 1945 kita telah bebas dari pada itu, the founding father telah mengantarkan kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Hari ini kita boleh maknai-nya sebagai tindak lanjut dari pada itu, yakni gerakan perbaikan, pembangunan berlanjut menuju kemandirian bangsa. Realialitas faktual terkini, kita masih jauh panggang daripada api, makin jauh kita ditinggalkan para the founding father malah makin terpuruk keadaan kita. Harus kita akui bahwa generasi 45 jauh lebih hebat dari kita. Kemerdekaan yang telah mereka wariskan saja hampir kita nistakan. Kita belum memaknai kemerdekaan itu, kita belum bisa menjadi Bangsa yang Mandiri. Bahkan kita berada dalam tekanan luar. Yang justru terus mengkawatirkan kita berada dalam cengkraman imperialisme baru, yang lebih halus dan menyusup secara global melumpuhlantakkan sendi-sendi kekuatan bangsa kita, yang lebih berbahaya dari sistem penjajahan tempo dulu. Nauzubillahi minzalik.
Keempat:
Amanat Penderitaan Rakyat adalah realitas kehidupan bangsa, inilah dasar kita melangkah, bergerak maju membangun kemandirian itu, situasional kehidupan rakyat, adalah batu pijakan kita dalam menentukan arah perjuangan. Sekali kita tidak menjadikan itu sebagai dasar pijakan dalam merancang sebuah program pembangunan maka selamanya kita akan kehilangan arah menuju kemandirian itu. Cita-cita agung yang kita impikan wujudkan Masyarakat Adil Makmur Gemah Rifah Loh Jinawi itu, hanya bagai utopis belaka. Cita-cita idealis luhur janji setia kemerdekaan tak akan pernah ter-realisasikan.
Oleh kerena itu, sekali lagi GMDI hadir dari sebuah kerisauan atas situasi itu, menyeru semua komponen bangsa, mari kita bangkit berbenah diri, me-revolusi kesadaran bahwa kita adalah mandatori pada Alloh SWT sebagai tempat kita kembali mempertanggungjawabkan semua amal bakti dan kiprah kita, yang tidak begitu lama menunggu hari perhitungan dan penghisapan bagi tiap-tiap diri kita, mau lari kemana kita? Bersembunyi dibalik peti besi sekalipun kalau sudah sampai waktunya tak dapat mengelak dari tangkapan-Nya, ndak usah risaukan KPK. cukup Allah saja dengan keakuratan perhitungannya, yang tidak pernah lepas dari catatan Rokibun Atid-Nya, kita hadirkan dijiwa tingkat ketauhidan-predikat Ihsan, yakni sentiasa merasa diawasi oleh-Nya dalam setiap ketika dan keadaan, tanda hidupnya jiwa kita sebagai auto-control bagi tiap-tiap diri. Insyaalloh kita akan lepas dari ancaman stroke, was-was dan sakit jantung serta mati mendadak, yakinkan itu!
Inilah Ruh Islam yang memotori kedinamisan pergerakan kita yang akan mengantarkan kita pada sebuah kinerja yang baik, yang akan mengghairahkan kita untuk berkarya terindah, yang memberikan kita daya energi ganda luarbiasa, yang akan mengeluarkan kreasi terbaik dari tiap-tiap kita, yang akan melahirkan sebuah kesadaran universal kemanusiaan tertinggi, nasionalisme-hablumminannaas amal horizontal untuk sesama, karena memahami kebermaknaan hidup, hanyalah kesadaran dalam perlombaan memberi karena Alloh, bukan sebaliknya.
Peritnya alam penjajahan, telah melahirkan rasa senasib sepenanggungan bagi para pejuang bangsa ini, sehingga mengkulminasi pada semangat persatuan dan kesatuan, kesadaran nasional berupa rasa kesetiakawanan yang melahirkan nasionalime Indonesia, sehingga menjadi sebuah kekuatan spritual perjuangan, yang mengkristal dalam bentuk perlawanan dan pertahanan rakyat semesta.
Artinya dimana ada rakyat Indonesia tegak secara serta merta siap siaga angkat senjata mempertahankan setiap inchi tanah air dari cengkraman penjajah, walaupun hanya dengan senjata bambu runcing, keris majal dan parang patah, tapi jiwa patriotik mereka hidup menggelora, siap mati berkalang tanah hingga titik darah yang penghabisan. Hari ini kita bagaimane? malah kita jual aje asset negara, bahkan pulau2nya sekali, ini adalah kerisauan generasi, jangankan memikirkan nasionalisasi Perusahaan Asing, bahkan BUMN aje bisa kita jual pada kelolaan negara luor, ini amat memilukan.
Manakala Kemerdekaan yang seyogianya kita syukuri dengan mengisinya dengan pembangunan yang berpaksikan akar budaya, falsafah kehidupan, membangun diatas landasan kepribadian, mem-format keperluan, merancang kemajuan, menyikapi permasalahan, menggagas pemikiran dalam memperkasa jatidiri bangsa. Malah kita terus mempecundanginya, mempersenda kebenaran, membelakangi kearifan, mengutamakan kepentingan dan kenikmatan sesaat, mendahulukan kepingan-kepingan materi.
Sebagai isyarat nyata dari penistaan kita terhadap amanat penderitaan rakyat itu. Semestinya kita memahami situasi bangsa, inti permasalahan rakyat, dan kaedah penyelesaian adil dan bijaksana, tidak mengadopsi cara dan pendekatan luar yang dipaksa, apalagi kalau betul-betul kita mendapat tekanan, ini sungguh meleraikan buhul tali ikat kemerdekaan kita.
Sederhananya, biar kita bergerak perlahan membangun negeri ini selaras dengan latar budaya, memberdaya semua potensi, menata laksana tata ruang yang ada, sebagai bentuk gerakan evolusi cermat dan bersahaja, tidak terburu nafsu serakah merebut aji mumpung yang tidak seberapa. Tapi pikirkan bagaimana potensi kekayaan negara agar terselamat dan terjaga, sementara potensialitas SDM terus dibina, berproses menuju kualitas terpercaya adalah impian luhur sepatutnya. Hari ini Indonesia berduka, negara kita hampir failit. Rasio hutang negara kian meningkat. Tiada siapa yang risau, malah seolah kita tutup mata atas perkara itu.
Sepatutnya kita gelar Indonesia Berduka. Kita seru Indonesia Puasa, penghematan energi, penyederhanaan belanja, sembelih habis amalan buruk korupsi, tiada maaf bagi koruptor, benci pada kemaksiatan, malu berbuat ketidak-adilan, revolusi kebaikan, rindu keadilan dan kebenaran, menjadi topik-topik perbincangan hangat yang harus kita marakkan.
Tetapi kini, betapa sulit kita mendengar topik-topik ini digelar, dibincang dan diwacanakan. Seolah inti permasalahan bangsa tak pernah kita singgung, amanat perderitaan rakyat tak pernah kita cermati. Kita bagai di-ninabobok-kan dengan berita-berita lips servis, kesalahan ditip-eks dengan kesalahan, kita sibuk dengan pergulatan kepentingan pribadi, kelompok, menukik menuju individualistis dibalik pluralis ke-aneka-an yang kita suarakan, paradoks dan kepentingan pragmatis partai dan tim sukses, kroni-kroni usaha yang ujungnya puas dengan bagi-bagi uang perolehan yang ada.
Begitu lemahnya benteng pertahanan kita, periode demi periode sedemikian rupa, menjadikan pesta demokrasi dan suksesi kepemimpinan pada penggal waktu per-lima tahun itu, hanya sebagai ajang perseteruan dan perebutan kursi kekuasaan, tak lebih daripada itu.
Setelah itu didapat, PR-nya pula bagaimana untuk mengekalkan atau mempertahankan komplot kekuasaan itu? Akhirnya penyalahgunaan jabatan, suap, korupsi berjamaah, penjarahan uang rakyat, hutan tanah dan ulayat merebak dimana-mana, bagai sudah legal lumrah biasa.
Kita mengalami kematian nurani, ketandusan idealis dan kegersangan jiwa. Hasilnya amanat penderitaan rakyat dan cita-cita luhur bangsa terabaikan yang berbuntut pada keterpurukan dan kemeruduman berkepanjangan.
Kita berada dalam kepungan hipnotis kapitalis, hedonis dan pragmatisme, yang terus menjerut dan mengkrangkeng leher kita satu demi satu. Kita kehilangan arah dalam perjuangan. Tidak sadarkah kita?!
Solusinya hanya apabila kita kembali menghidupkan Ruh Islam di dalam tiap-tiap diri kita, membangun dan menyuburkan jiwa nasionalisme atas dasar cinta dan kebersamaan, bergerak menuju kemandirian mengemban amanat penderitaan rakyat yang tulus dan ikhlas, berkarya dan beramal bakti hanya karena ingin mengharapkan redho-Nya Allah semata. Insyaalloh, Amiin-Wassalam.
COMMENTS