Oleh : Elviriadi Malam tadi, hampir tengah malam, alih kelola Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina berlangsung khidmat. Tak ada tanda tanda ...
Oleh : Elviriadi
Malam tadi, hampir tengah malam, alih kelola Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina berlangsung khidmat. Tak ada tanda tanda "keramaian riuh rendah" atau interupsi sosial yang sempat menghangat di media sosial Warga Bumi Lancang Kuning, dengan pejabat Riau yang hadir tampak menebar senyum sumringah. Sebelumnya sempat terjadi pergantian "EO" (event organizer) penyelenggara teknis di Kota Duri, lantaran salah satu tim work diduga positif Covid-19.
Gerah melihat polemik itu, Penulis prolifik Riau, Bang Drh.Chaidir angkat bicara melalui opini bertajuk, Blok Rokan; Berharap Kado Istimewa".
Chaidir menukilkan, pengelolaan ladang minyak Blok Rokan, Riau resmi berpindah tangan ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) setelah berakhirnya kontrak bagi hasil (PSC) PT Chevron Pacific Indonesia mestinya ini menjadi kado istimewa bagi Provinsi Riau. Sebab, Blok Rokan sepenuhnya berada di Provinsi Riau. Produksi saat alih kelola tercatat sekitar 160.000 barel minyak per hari atau sekitar 24 persen produksi minyak nasional. Di masa jayanya, Blok Rokan bahkan menghasilkan lebih dari 700.000 barel minyak per hari, dan menjadi primadona penghasil minyak nasional. Dalam gambaran umum tersebut, ketika Blok Rokan kini dikelola oleh perusahaan nasional, semestinya Riau memiliki peluang yang sangat besar ikut berperan. Tentulah putra-putra asli Riau berkesempatan duduk di jajaran komisaris dan direksi perusahaan, apalagi ada lampu hijau dari Presiden Jokowi.
Pernyataan dan narasi Bang Chaidir ini terasa begitu menggelitik hati penulis. Sebagai kawan, junior dan 'murid' yang pernah menulis buku bersamanya (Bang Chaidir, red) berjudul "Geliat Orang Orang Riau" (tahun 2001) sewaktu masih mahasiswa, penulis merasa tulisan Bang Chaidir sebagai tantangan intelectual exrcise.
Saya mungkin melihat ada sisi unik dan menarik dari pernak pernik suara masyarakat Riau dalam dinamika Blok Rokan.
Dunia melayu, menurut kajian seorang Muchtar Ahmad, berada diantara mimpi dan tindakan. Mimpi menjadi icon budaya yang berkembang dalam tradisi lisan, berputik dari cerita dan fokloor. Maka dalam laku juang puak Melayu serupa itu, heroisme Blok Rokan terserap oleh Ekspektasi Imajinatif Yong Dolah (YeDe). Tokoh Yong Dolah (Bengkalis), menyihir minda melayu bak Sigmund Froud dan Eric Fromm, sehingga Blok Rokan kehilangan daya ideologis.
Yang muncul justru sebuah arensemen gerakan sejumput sejumput, minus inkubasi pada basis akar rumput. Wajar jika, gagasan gagasan yang ditawar oleh aktor peminat Blok Rokan, kurang dipahami publik.
Bahkan secara berseloroh, seorang kawan di grup WA menganalisa, gagalnya Riau dalam B to B 39% itu, karena "kalkulator tak ada tanda bagi". Mungkin, kritik sarkastis kawan itu tidak serta merta dimaknai berbagi duit yang pelit, melainkan juga berbagi peran antar daerah penghasil. Rokan Hulu, Rokan Hilir, Kampar, Siak dan Bengkalis mungkin tak sempat diorganisir untuk tujuan yang sama dan jauh; bersatu demi kemaslahatan.
Jika kalkulator perjuangan Blok Rokan, tak ada tanda bagi (peran, konsolidasi dan job discribtion) sosial politik, maka 'kepunan' sudah didepan mata. Tak ada tujuan mulia yang berhasil tanpa tim yang seirama, tujuan yang benderang dan pembagian (profit sharing) transparan merata. Menghadapi hari hari pasca Pertamina bertahta, agaknya kalkulator YeDe (Yong Dolah) adalah "penyakit sosial" alam pikiran orang Riau yang pe-mimpi dan suka sendiri sendiri.
Kita tak ingin, Riau yang pernah nostalgia Sultan Syarif Kasim sumbang 1000 Triliun demi bangsa, diujung hari bekecai karena kalkultor YeDe pembawa petaka.
Wellcome Pertamina, Riau Menanti Sumbangan Derma.
Terimalah Salam Takdzim, Elviriadi al Meranti bin Merana
COMMENTS